Bulan Ramadhan -
adalah bulan Al Qur’an. Semestinya di bulan Al Qur’an ini umat Islam
mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk lebih bersemangat
membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Ya, perenungan isi Al
Qur’an hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktifitas umat muslim di
bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat
mengembalikan peran Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju
jalan yang benar.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran
adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah:
185)
Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering
dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu
surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang
mulia tersebut berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al
Baqarah: 183)
Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah
puasa. Mari kita kupas hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman”
Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di
Madinah (setelah hijrah, pen), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan
naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di
Makkah[1].
Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan
keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[2]. Ibnu Katsir
menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada
orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah
untuk melaksanakan ibadah puasa”[3].
Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa
dengan keimanan seseorang. Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada
orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya
menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa
juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.
Lalu, apakah iman itu?
Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (QS. Yusuf: 17)
Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits:
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
“Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani
Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat,
mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk”[4]
Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku
beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata,
atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan
kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah
Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak
beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang
tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak
percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i menjelaskan:
وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر
“Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa
iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan
mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini”[5].
Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun
enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan
lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak
berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu
hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu
memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula,
puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Telah diwajibkan atas kamu berpuasa ”
Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah
menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf
pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan
mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai
wajibnya”[6].
Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan
melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ
تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya.
Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah:
184)
Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini,
kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum
(dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang
bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa
berdasarkan ayat:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
‘Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS. Al Baqarah: 185)”[7].
Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah
umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi –hafizhahullah–
menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu
ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan
syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena
awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap
dianjurkan”[8].
Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa
ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh
mana ia menerapkan tauhid.
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”
Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan
‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam
‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan
dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang
dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As
Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.
Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta
melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang
sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan
menjadi hal yang biasa saja.
Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik
berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau
juga sama kadarnya”[9].
Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad
adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana
diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari
Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim,
yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga
hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya
puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban
puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga
akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan”[10].
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Agar kalian bertaqwa”
Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil
(alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak
bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan
diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat
taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang
berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang
yang bertaqwa[11].
Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian
bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita
ketika puasa”[12].
Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya:
“Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena
puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu
dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan,
maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari
makanan, minuman dan jima”[13].
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian
bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang
merupakan sumber maksiat”[14].
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?
Secara bahasa arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang
artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya
waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah,
definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin
Habib Al’Anazi:
العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ
اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ
عَذَابِ اللهِ
“Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah
(dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya
Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah”[15].
Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah,
bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang
menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan,
tradisi, taklid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga orang
bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan
Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang
mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai
tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan
sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi
kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13)
Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut ini
dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam
tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu
salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa
telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu,
keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:
1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah
berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki
kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi
mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua
merupakan bentuk taqwa’
2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada
Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal
sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui
orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya
3. Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia,
sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi
4. Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia
akan lebih peduli kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga
merupakan tabiat orang yang bertaqwa”[16]
Semoga puasa kita dapat menjadi saksi dihadapan Allah tentang keimanan
kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat
taqwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala.